Bab 4 : Utang Piutang

Bab 4 : Utang Piutang- Pengertian, Hukum, Ketentuan, Lembaga, Dll- Hallo semua, pada kesempatan kali ini kita akan membahas materi tentang Utang Piutang dalam Islam lanjutan dari pembahasan materi yang kemarin yaitu tentang Pinjam Meminjam dalam Islam.

Bab 4 : Utang Piutang

Pengertian Utang Piutang

Utang piutang adalah salah satu bentuk kerjasama atau tolong menolong dalam kehidupan manusia. Antara pinjam meminjam dengan utang piutang objeknya sama yaitu : dapat berupa barang atau uang, perbedaanya adalah, kalau kegiatan pinjam meminjam harus mengembalikan barang pinjaman pada batas waktu yang telah ditentukan.  

Sedangkan dalam kegiatan utang piutang jika utang tersebut dalam bentuk pembelian barang, maka dapat menjadi milik pribadi (penghutang) secara penuh, apabila hutang telah lunas, misalnya hutang mobil, rumah atau barang lainya.

Hukum Utang Piutang

Hukum utang piutang pada asalnya adalah mubah atau boleh, namun bisa berubah menjadi sunah, wajib, atau haram tergantung dari latar belakang alasan yang mendasarinya. 

Lebih lengkap penjelasanya sebagai berikut : 

  1. Mubah atau boleh, sebagaimana hukum asal dari utang piutang 
  2. Sunah, apabila  orang yang berhutang dalam keadaan terpaksa. Misalnya, utang makanan pokok demi untuk memberi makan keluarganya 
  3. Wajib, apabila pemberi hutang mendapati orang yang sangat membutuhkan bantuan, misalnya member hutangan kepada orang yang membutuhkan untuk operasi demi kesembuhan dari suatu penyakit, sementara yang berhutang tidak ada yang menolong 
  4. Haram, apabila orang yang memberi hutang mengetahui penggunaan utang untuk hal-hal yang dilarang agama, misalnya utang untuk membeli minum minuman keras, judi atau lainya

Dasar hukum yang digunakan dalam  al-Qur’an surat al-Maidah ayat 2 dan hadits Nabi Muhammad Saw., di bawah ini : 

Ketentuan Utang Piutang

Adapun ketentuan-ketentuan utang piutang ini yang perlu kita perhatikan adalah sebagai berikut :

a. Hutang Piutang Lebih Baik Ditulis dan Dipersaksikan

Dalilnya firman Allah Swt., Q.S.. Al-Baqarah : 282 yang artinya : 

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu’amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Rabbnya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun dari hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya.Janganlah saksisaksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah muamalahmu itu), kecuali jika muaamalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Mahamengetahui segala sesuatu” 

b. Pemberi Hutang Tidak Boleh Mengambil Keuntungan atau Manfaat dari Orang yang Berhutang. 

Kaidah fikih berbunyi:

 Artinya : “Setiap hutang piutang yang mendatangkan manfaat (bagi pemberi hutang), maka hukumnya riba”. 

c. Berhutang dengan Niat Baik dan Akan Melunasinya 

Hal ini sebagaimana hadits berikut ini:

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata bahwa Nabi Muhammad Saw.  bersabda: “Barangsiapa yang mengambil harta orang lain (berhutang) dengan tujuan untuk membayarnya (mengembalikannya), maka Allah Swt. akan tunaikan untuknya. Dan barangsiapa mengambilnya untuk menghabiskannya (tidak melunasinya), maka Allah Swt. akan membinasakannya”. (HR. Bukhari) 

d. Tidak Berhutang Kecuali dalam Keadaan Darurat atau Mendesak. 

Maksudnya ialah kondisi yang tidak mungkin lagi baginya mencari jalan selain berhutang sementara keadaan sangat mendesak, jika tidak akan kelaparan atau sakit yang mengantarkannya kepada kematian, atau semisalnya. 

e. Jika Terjadi Keterlambatan Karena Kesulitan Keuangan

Maka, hendaklah orang yang berhutang memberitahukan kepada orang yang memberikan pinjaman. Hal ini termasuk bagian dari menunaikan hak pemberi hutang. 

f. Bersegera Melunasi Hutang 

Orang yang berhutang hendaknya ia berusaha melunasi hutangnya sesegera mungkin apabila ia telah memiliki kemampuan untuk mengembalikan hutangnya. Sebab orang yang menundamenunda pelunasan hutang padahal ia telah mampu, maka ia tergolong orang yang berbuat zhalim. Sebagaimana hadits berikut:


g. Memberikan Penangguhan Waktu Kepada Orang yang Sedang Kesulitan dalam Melunasi Hutangnya Setelah Jatuh Tempo. 

Allah Swt. berfirman: 

Utang Piutang dalam Lembaga Keuangan Syariah (LKS) 

Lembaga Keuangan Syariah (LKS) di samping sebagai lembaga komersial (mencari keuntungan), juga berperan sebagai lembaga sosial (tidak mencari keuntungan). Bentuk peran LKS sebagai lembaga sosialnya diantaranya Qarḍ al-Hasan yaitu melayani utang piutang tanpa mengambil bagi hasil keuntungan. 

LKS sebagai lembaga komersial melayani utang piutang dengan akad di antaranya : 

  1. Muḍarabah, yaitu kerjasama mitra usaha dan investasi 
  2. Murabaḥah, yaitu jual beli dengan menyatakan harga pokok dan keuntungan
  3. Musyarakah, yaitu kerjasama modal usaha 
  4. Iṡtisna’, yaitu jual beli berdasarkan pesanan 
  5. Rahn (Gadai), yaitu penyerahan barang yang dilakukan oleh penghutang sebagai jaminan atas hutangnya.  

LKS sebagai lembaga sosial melayani utang piutang dengan akad Qardh Al Hasan (pinjaman kebajikan). Prinsip utang piutang dalam  sistem Qardh Al Hasan yakni : suatu akad hutang kepada nasabah dengan ketentuan hanya mengembalikan pokok hutang, tanpa adanya penambahan bagi hasil keuntungan 

a. Ketentuan Umum Qarḍ al-Hasan

  1. Pinjaman diberikan kepada nasabah yang sangat memerlukan 
  2. Nasabah wajib mengembalikan jumlah pokok yang diterima sesuai batas waktu yang telah dipakati
  3. Biaya adminitrasi dapat dibebankan kepada nasabah 
  4. LKS dapat meminta jaminan/agunan apabila dipandang perlu 
  5. Nasabah dapat memberikan tambahan (sumbangan) dengan sukarela selama tidak diperjanjikan dalam akad 
  6. Apabila sampai batas waktu nasabah tidak dapat mengembalikan hutangnya dan LKS telah memastikan ketitak mampuanya, maka LKS dapat :pertama memperpanjan jangka waktu pengembalianya, kedua menghapus sebagian atau seluruh kewajiban nasabah

b. Sumber Dana Qarḍ al-Hasan

  1. Bagian modal LKS 
  2. Keuntungan LKS yang disisihkan 
  3. Lembaga lain atau individu yang mempercayakan penyaluran infaqnya kepada LKS 

Latihan!
Jawablah Pertanyaan-Pertanyaan dibawah berikut ini!

  1. Jelaskan pengertian Utang Piutang .....
  2. Apa hukum Utang Piutang dan tuliskan Dalilnya .....
  3. Jelaskan beberapa ketentuan-ketentuan Utang Piutang ....
  4. Sebutkan sumber dana dari Qard al Hasan .....

Demikianlah materi tentang Bab 4 : Utang Piutang. Semoga bermanfaat ....

Referensni : Buku Siswa Fiqih Kelas 9 MTs.

Baca juga :

Pinjam Meminjam

Comments